Dahta Gautama. Lahir di Hajimena, Bandarlampung. Belajar sastra secara otodidak sejak 1987. Selama satu tahun (1998) bermukim di Tokyo dan Kyoto, Jepang, bekerja untuk Japan Foundation sebagai peneliti. Pada tahun 1999 mengidap Depresi Neorosis, selama enam bulan mesti konsultasi kepada psikiater. Karena sakit, selama satu tahun (1999) cuti pula menulis puisi. Kali pertama mempublikasikan puisi pada tahun 1992 untuk media harian lokal terbitan Bengkulu, Padang, Riau dan Lampung. Hingga kini sejumlah puisi, cerpen dan esai telah disiarkan disejumlah media daerah dan nasional: Merdeka, Koran Tempo, Kompas, Pelita, Suara Pembaruan, Majalah Sastra Horison, Media Indonesia, Republika, Majalah Annida, Jawa Pos, Majalah Demokratis, Lampung Post, Sumatera Post, Lampung Ekspres, Radar Lampung, Haluan (Padang), Singgalang (Padang), Sumatera Ekspres (Palembang), Sriwijaya Pos (Palembang), Riau Pos, Sijori (Batam), Trans Sumatera (Lampung), Semarak Pos (Bengkulu), Surabaya News, Dinamika dll. Juga terdokumentasi sedikitnya dalam 12 antologi puisi: Konser Ujung Pulau, Gerimis, Dian Sastro For President, Medan Puisi, Perjamuan Senja, Tanah Pilih, 100 Puisi Indonesia Terbaik 2008, Veranda Banda Aceh, dll. Buku puisi tunggalnya yang telah terbit dan dicetak dalam jumlah terbatas: Menjadi Camar (2005) Metamorfosis Mimpi (2005), Metamorfosis Kematian (2006) dan tengah mempersiapkan buku keempat: Meditasi Sabtu Malam. Kini ia menjabat sebagai Direktur Lembaga Kajian Filsafat Lingkar Profetik (KFLP) dan Aktivis Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Lampung (2006-2008), juga ‘kebetulan’ menjabat sebagai pemimpin redaksi surat kabar umum Dinamika.
MENGGAMBAR ANGIN
mari hikmati bunyi angin
yang berputar di pucuk alang-alang.
ada yang terlempar dari waktu
yang terus meranggas.
Serupa hujan dan malam
ada hantu yang tak memiliki kaki
dan engkau terlempar dirimbunan angin
waktu terus berputar
dan janji yang telah kita ucapkan
disuatu senja
menjadi cerita basi.
mari menggambar angin
ketika sesungguhnya, hidup sekadar
menelusuri jejak gerimis
Lampung, 2008
DUNIA SUNYI (2)
Suaramu terdengar meringkih
di telingaku.
menelusup di kedalaman matamu.
Aku tahu, tak ada yang lebih
nyawa dari sekadar bertanya kepada
jejak sejarah kita yang telah hilang
di trotoar itu.
Engkau sesungguhnya telah menjadi
bangkai
dan sunyi memiliki mata
serupa pisau
dihujamkan olehmu
berkali-kali di ulu hatiku
Lampung, 2008
DUNIA SUNYI (3)
Kupu-kupu di kebun mawar
gerimis turun disepanjang malam.
aku sudah lupa
bahwa, untuk mempersuntingmu
aku mesti bersenggama dengan sunyi
yang berdesis di kelopak bibirmu.
Kita, akan merintih bersama, Savitri
sambil memangku cahaya bulan
yang bolong di kelambu kita.
Lampung, 2008
NEGERI ORANG MATI (2)
Iya, khan. kemudian engkau menjadi
paham. bahwa bunga-bunga
yang engkau taburkan
di keremangan malam kemarin
telah menjadi sejarah.
Kini, engkau telah mati
malaikat maut
mencabut akar kornea matamu.
Lampung, 2008
NEGERI ORANG MATI (3)
Bukankah kita telah mati
semenjak kecemasan tumbuh
di diubun-ubunmu.
dan tubuh kita melayang
menyusuri luas langit.
Kita. selalu tahu, orang-orang
yang kelak akan menyusuri
jejak nasib ini.
Lampung, 2008
RENDZEVOUS
Wajah-wajah pasi
merambah jalan-jalan sunyi.
Engkau pasti tak tahu
jalan menuju kota.
Ketika airmata ibu menggiringmu
kedunia ari-ari.
Mengapa tidak menjaring kunang-kunang
pada setiap malam-malammu yang sesak
oleh perih.
Hidup terlanjur terseok dan miskin
mengapa tidak mencoba untuk bergembira
meski cuma pura-pura.
Karena setiap denyut nadimu
aku selalu menghitung
kecepatan dan kelambatannya.
Apakah engkau tak pernah percaya
bahwa hari-hari yang akan kita lalui
pasti menyimpan airmata.
Lampung, April 2007
KAWAN YANG TERSESAT
(Duniamu, dunia terpencil. engkau miskin sebagai anak yang tersesat)
aku memanggil-manggil namamu, untuk memastikan
apakah engkau masih memiliki leher dan telinga.
Leher. ya. mana lehermu. aku ingin menggentungkan
rantai bermata merah delima
agar engkau bisa menghilang
dan mencuri semua mainan anak-anak
yang tak pernah bisa engkau beli.
Aku memanggil-manggil namamu.
tetapi ternyata engkau telah kehilangan leher dan telinga.
Lampung, April 2007
MENJELMA ULAR
Namamu tenggelam dalam tumpukan kartu nama
aku tak pernah mengenalimu lagi
semenjak kau rambah kota-kota
yang menyimpan airmata.
Betapa sulit untuk sekadar menyebut namamu
sungguh aku lupa.
Dirimu terlempar dari dahan ke dahan
serupa helai daun yang tertiup angin barat.
Barangkali, cuma dalam mimpi-mimpi
kita dapat bersapa dan engkau saat itu
telah menjelma sebagai ular berkepala hitam.
Lampung, April 2007
MATI
Engkau tak pernah memahami arti
bunyi angin di halaman rumahmu.
Engkau juga tak pernah bisa memahami
makna taman yang gelap tak berlampu.
kunang-kunang, kelelawar dan lengkingan
anjing tak terdengar.
Engkau tak mungkin paham
bahwa tuhan pernah tak ada.
Lampung, April 2007
BELATI DI JAKARTA
Kau torehkan belati di pipiku
sebagai kenang-kenangan bahwa kita
pernah bertemu dan bersahabat
di Tanah Abang.
Aku menjadi bromocorah
karena ibu mengutukku.
tapi aku tak pernah menjelma batu.
Sampai pada suatu malam penuh angin
kita jumpa di Bongkaran
ketika itu kita bertengkar soal Tuti
pelacur yang ketiaknya beraroma kantil.
kita tak pernah peduli, ternyata Tuti
bukan perempuan Madura
rasanya pun biasa-biasa saja.
Engkau pernah bercerita
tentang kampung. ayahmu cuma
petani kembang hias. ibumu mati, sebelum usiamu lima belas.
Kau terlalu banyak bercerita dan aku tak
bisa mengingatnya. akhirnya kita berpisah.
Kau bawa Tuti dan aku bawa bekas belati.
Lampung, April 2007
MENYUSURI GERIMIS
Bersama angin, aku menyusuri
gerimis petang.
Jam-jam berloncatan
tetapi basah ini tak pernah
sudi memahami duka-duka.
Aku menulis sajak tentang
burung gereja. yang tertembak
senapan anak-anak.
Ah. sepanjang malam aku mesti
mengurung diri di runtuhan
sisa hujan. sambil menggambar
warna gerimis, senapan dan burung gereja
Lampung, April 2007