Selamat datang di Kawasan Penyair Nusantara Lampung. Terima kasih atas kunjungan Anda.

Senin, 17 November 2008

Dahta Gautama


Dahta Gautama. Lahir di Hajimena, Bandarlampung. Belajar sastra secara otodidak sejak 1987. Selama satu tahun (1998) bermukim di Tokyo dan Kyoto, Jepang, bekerja untuk Japan Foundation sebagai peneliti. Pada tahun 1999 mengidap Depresi Neorosis, selama enam bulan mesti konsultasi kepada psikiater. Karena sakit, selama satu tahun (1999) cuti pula menulis puisi. Kali pertama mempublikasikan puisi pada tahun 1992 untuk media harian lokal terbitan Bengkulu, Padang, Riau dan Lampung. Hingga kini sejumlah puisi, cerpen dan esai telah disiarkan disejumlah media daerah dan nasional: Merdeka, Koran Tempo, Kompas, Pelita, Suara Pembaruan, Majalah Sastra Horison, Media Indonesia, Republika, Majalah Annida, Jawa Pos, Majalah Demokratis, Lampung Post, Sumatera Post, Lampung Ekspres, Radar Lampung, Haluan (Padang), Singgalang (Padang), Sumatera Ekspres (Palembang), Sriwijaya Pos (Palembang), Riau Pos, Sijori (Batam), Trans Sumatera (Lampung), Semarak Pos (Bengkulu), Surabaya News, Dinamika dll. Juga terdokumentasi sedikitnya dalam 12 antologi puisi: Konser Ujung Pulau, Gerimis, Dian Sastro For President, Medan Puisi, Perjamuan Senja, Tanah Pilih, 100 Puisi Indonesia Terbaik 2008, Veranda Banda Aceh, dll. Buku puisi tunggalnya yang telah terbit dan dicetak dalam jumlah terbatas: Menjadi Camar (2005) Metamorfosis Mimpi (2005), Metamorfosis Kematian (2006) dan tengah mempersiapkan buku keempat: Meditasi Sabtu Malam. Kini ia menjabat sebagai Direktur Lembaga Kajian Filsafat Lingkar Profetik (KFLP) dan Aktivis Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Lampung (2006-2008), juga ‘kebetulan’ menjabat sebagai pemimpin redaksi surat kabar umum Dinamika.

MENGGAMBAR ANGIN

mari hikmati bunyi angin
yang berputar di pucuk alang-alang.
ada yang terlempar dari waktu
yang terus meranggas.
Serupa hujan dan malam
ada hantu yang tak memiliki kaki
dan engkau terlempar dirimbunan angin
waktu terus berputar
dan janji yang telah kita ucapkan
disuatu senja
menjadi cerita basi.
mari menggambar angin
ketika sesungguhnya, hidup sekadar
menelusuri jejak gerimis

Lampung, 2008


DUNIA SUNYI (2)

Suaramu terdengar meringkih
di telingaku.
menelusup di kedalaman matamu.
Aku tahu, tak ada yang lebih
nyawa dari sekadar bertanya kepada
jejak sejarah kita yang telah hilang
di trotoar itu.
Engkau sesungguhnya telah menjadi
bangkai
dan sunyi memiliki mata
serupa pisau
dihujamkan olehmu
berkali-kali di ulu hatiku

Lampung, 2008


DUNIA SUNYI (3)

Kupu-kupu di kebun mawar
gerimis turun disepanjang malam.
aku sudah lupa
bahwa, untuk mempersuntingmu
aku mesti bersenggama dengan sunyi
yang berdesis di kelopak bibirmu.
Kita, akan merintih bersama, Savitri
sambil memangku cahaya bulan
yang bolong di kelambu kita.

Lampung, 2008


NEGERI ORANG MATI (2)

Iya, khan. kemudian engkau menjadi
paham. bahwa bunga-bunga
yang engkau taburkan
di keremangan malam kemarin
telah menjadi sejarah.
Kini, engkau telah mati
malaikat maut
mencabut akar kornea matamu.

Lampung, 2008


NEGERI ORANG MATI (3)

Bukankah kita telah mati
semenjak kecemasan tumbuh
di diubun-ubunmu.
dan tubuh kita melayang
menyusuri luas langit.
Kita. selalu tahu, orang-orang
yang kelak akan menyusuri
jejak nasib ini.

Lampung, 2008


RENDZEVOUS

Wajah-wajah pasi
merambah jalan-jalan sunyi.
Engkau pasti tak tahu
jalan menuju kota.
Ketika airmata ibu menggiringmu
kedunia ari-ari.
Mengapa tidak menjaring kunang-kunang
pada setiap malam-malammu yang sesak
oleh perih.
Hidup terlanjur terseok dan miskin
mengapa tidak mencoba untuk bergembira
meski cuma pura-pura.
Karena setiap denyut nadimu
aku selalu menghitung
kecepatan dan kelambatannya.
Apakah engkau tak pernah percaya
bahwa hari-hari yang akan kita lalui
pasti menyimpan airmata.

Lampung, April 2007


KAWAN YANG TERSESAT

(Duniamu, dunia terpencil. engkau miskin sebagai anak yang tersesat)
aku memanggil-manggil namamu, untuk memastikan
apakah engkau masih memiliki leher dan telinga.
Leher. ya. mana lehermu. aku ingin menggentungkan
rantai bermata merah delima
agar engkau bisa menghilang
dan mencuri semua mainan anak-anak
yang tak pernah bisa engkau beli.
Aku memanggil-manggil namamu.
tetapi ternyata engkau telah kehilangan leher dan telinga.

Lampung, April 2007


MENJELMA ULAR

Namamu tenggelam dalam tumpukan kartu nama
aku tak pernah mengenalimu lagi
semenjak kau rambah kota-kota
yang menyimpan airmata.
Betapa sulit untuk sekadar menyebut namamu
sungguh aku lupa.
Dirimu terlempar dari dahan ke dahan
serupa helai daun yang tertiup angin barat.
Barangkali, cuma dalam mimpi-mimpi
kita dapat bersapa dan engkau saat itu
telah menjelma sebagai ular berkepala hitam.

Lampung, April 2007


MATI

Engkau tak pernah memahami arti
bunyi angin di halaman rumahmu.
Engkau juga tak pernah bisa memahami
makna taman yang gelap tak berlampu.
kunang-kunang, kelelawar dan lengkingan
anjing tak terdengar.
Engkau tak mungkin paham
bahwa tuhan pernah tak ada.

Lampung, April 2007


BELATI DI JAKARTA

Kau torehkan belati di pipiku
sebagai kenang-kenangan bahwa kita
pernah bertemu dan bersahabat
di Tanah Abang.
Aku menjadi bromocorah
karena ibu mengutukku.
tapi aku tak pernah menjelma batu.
Sampai pada suatu malam penuh angin
kita jumpa di Bongkaran
ketika itu kita bertengkar soal Tuti
pelacur yang ketiaknya beraroma kantil.
kita tak pernah peduli, ternyata Tuti
bukan perempuan Madura
rasanya pun biasa-biasa saja.
Engkau pernah bercerita
tentang kampung. ayahmu cuma
petani kembang hias. ibumu mati, sebelum usiamu lima belas.
Kau terlalu banyak bercerita dan aku tak
bisa mengingatnya. akhirnya kita berpisah.
Kau bawa Tuti dan aku bawa bekas belati.

Lampung, April 2007


MENYUSURI GERIMIS

Bersama angin, aku menyusuri
gerimis petang.
Jam-jam berloncatan
tetapi basah ini tak pernah
sudi memahami duka-duka.
Aku menulis sajak tentang
burung gereja. yang tertembak
senapan anak-anak.
Ah. sepanjang malam aku mesti
mengurung diri di runtuhan
sisa hujan. sambil menggambar
warna gerimis, senapan dan burung gereja

Lampung, April 2007

Minggu, 14 Oktober 2007

Isbedy Stiawan ZS


Isbedy Stiawan ZS.Lahir di Tanjung Karang, 5 Juni 1958. Karyanya tersebar di media massa seperti Kompas, Republika, Suara Karya, Horison, Lampung Post, dan lain-lain Puisi tunggalnya antara lain Roman Siti dan Aku selalu Mengabarkan (2001), Aku Tandai Tahi Lalatmu (2003), Menampar Angin (2003), Kota Cahaya (2005) dan lain-lain. Antologi bersama : Dunia Lipstick, Dari Negeri Poci, Dari Bumi Lada, Resonansi Indonesia, Angkatan 2000, Hijau Kelon dan Puisi 2002 (2002), Puisi Tak Pernah Pergi (2003), 20 Tahun Cinta (2003), Wajah di balik Jendela (2003), Anak Sepasang Bintang (2003), Bunga - Bunga Cinta (2003), Jika Cinta… (2004) dan lain-lain. Kumpulan cerpennya antara lain Selembut Angin Setajam Ranting (2005), Seandainya Kau Jadi Ikan (2005), Hanya Untuk Satu Nama (2005) dan lain-lain. Pembacaan puisi antara lain : di TIM (1987), bersama penyair Indonesia di Gapena Kualalumpur Malaysia (1999), Dialog Utara VIII di Thailand (1999), pada Biennale Literary International oleh Komunitas Utan Kayu (2005), pernah mengikuti Pertemuan Sastrawan Nusantara di Kayutanam (1997), PSN di Johorbaharu Malaysia (1999). Salah satu puisinya :


Jadi Burung Di Ruang Ini

di ruang ini aku jadi burung
sedang kau sebagai saranglalu bagaimana bisa
burung pergi dari sarang ?

maka aku mengeram di dalammu
aku beternak ruh yang
bersayap di masa datang
kepakkan segala kata
jadi kalimat
rimba keramat
yang kau eram pula
sehabis hujan luruh
di luar rencana …

aku jadi burung di ruang ini
mengeram di sarangmu
beternak kalimat – kalimat
dusta,
tumbuh sayap di masa datang
yang pulang dengan kaki patah
merimba keramat …

21-22 Juli 2005

Jimmy Maruli Alfian



Jimmy Maruli Alfian, lahir di Teluk Betung, 3 Maret 1980. Mahasiswa sedang menyelesaikan Master bidang hokum pada Program Pasca Sarjana Universitas Lampung. Aktif pelbagai forum sastra dan pembacaan puisi antara lain pada Malam Puisi Indonesia di Teater Utan Kayu Jakarta(2003), Ubud Writer’s and Reader’s Festival (Sebuah Forum Sastra Antar Bangsa, Bali 2004). Juga International Literary Biennale (2005). Karya-karyanya berupa puisi, esei, tinjauan buku dipublikasikan di berbagai surat kabar, majalah, jurmal dan antologi (Koran Tempo, Kompas, Media Indonesia, Horison, Jurnal Puisi dan lainnya). Kini kesehariannya berguru dan berdarma di Komunitas Berkat Yakin dengan menmgikuti proses garapan teater : Syekh Siti Jenar (Vreddy Kastam Marta), Aduh (PutunWijaya), Malam Jahanam (Motinggo Busye), Nyanyian Angsa (Anton P.Chekov), Bunga Rumah Makan (Utuy Tatang Sontani), Hamlet (William Shakespare) dan Inspektur Jenderal (Nikolay Gogol). Salah satu puisinya :


Merajang Lajang

PERAWAN : Inilah tanahku, tak pernah tandus ! mata air,dan rahim yang sopan memilih percintaan

BUJANG : Aku ingin dilupakan dari takdir, tak perduli harum rahim ataupun mata air tempat
pemandian terakhir. Aku pertapa dengan nafas sengal dan asmara yang bebal

PERAWAN : Tempo hari, hasrat seperti apa yang ingin kau jerat?
Karena genit, kita diusir dari surga. Pindah ke kota yang hanya ditanami pepohonan kaktus
dan cinta yang tandus.Kau ingin es buah

BUJANG : Seharusnya dulu aku tak perlu mengenalmu. Cerita pilu membuat darah bergenang di jantungku !

PERAWAN : Dan kau harus menanggung kesalahan untuk semua angan-angan !

BUJANG : Tak ada benar salah dalam keinginan

PERAWAN : Tapi, seekor ular diketeduhan surga, kelak
membuat resah dua anak lelaki kita.
Lalu kebencian menjadi kaca setiap perjumpaan.

BUJANG : Aku haus. Segala cemas sepanjang umur akan kutanggalkan,
Boleh aku hisap putingmu ? Ada yang bilang, dadamu muasal ingatan. Tapi bagiku, merah
putingmu merupa pangkal embun jatuh kebatu.

PERAWAN : Aku lamunkan luka di segala keindahan. Dau kau, akan gembira menamainya perjuanagn.

BUJANG : Hijrah burung-burung. Menandakan ada lumbung di ujung jantung.

PERAWAN : Alah mak jang ! Kau penyair ?

BUJANG : Kau hitung, berapa banyak nyeri yang membuat kita berulangkali bunuh diri! Mungkin, ratusan.Itulah sebabnya, aku ingin mangkir dari takdir.
Setiap waktu, mendaki puncak mendorong batu. Sampai akhirnya dijatuhkan lagi
menyusuri sepi.

PERAWAN : Kau mulai sentimental.

BUJANG : Bukan! Lepas dari sesal, aku ingin tahu berapa lama usia kenangan mampu bertahan
dalam ingatan ? Karena pikiran terkadang menutupi tubuhnya dengan suara hujan dan
remang malam.

PERAWAN : Aah, apakah semua penyair ngaco dan sentimentil?
Sudahlah, kau masih haus ? Buka mulutmu, ada celah daging yang membuat dapat
menyelinap dari segala ratap.
Jangan sekali-sekali kau tanyakan tentang kenangan.

Depok, 2005

Inggit Putria Marga



Inggit Putria Marga Lahir di Tanjung karang, 25 Agustus 1981. Alumnis Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Agustus 2005 membaca puisi dalam International Literary Festival Biennale 2005 yang diselenggarakan Komunitas Utan Kayu dan Winternachten. Desember 2005 mendapatkan Anugerah Kebudayaan dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Menyiarkan puisi lewat media massa seperti Kompas, Koran Tempo dan lain – lain. Beberapa antologi bersama seperti Gerimis (dalam lain versi) terbitan DKL 2005, Livng Together (Teater Utan Kayu dan Winternechten, Agustus 2005 dan lain- lain. Kini berbakti untuk Komunitas Berkat Yakin, Lampung, sebuah komonitas yang mempelajari kesenian dengan kesadaran. Salah satu puisinya :

Bayangan Sepasang Burung

bayangan sepasang burung
terpantul di kaca gedung
di seberangnya
sebuah kuil
mendekap sesosok perempuan hamil
seorang pembakar dupa
yang tak lagi tahu ingin apa

dulu
ia rajin berdoa, merajut celana
bagi gumpal daging dalam perutnya
tapi kini
setelah tercerai cincin di jari
celana atau doa
tak lebih berharga
dari serpih abu dupa
berterbangan di patung dewa
lalu dilupakannya
begitupun
bahagia dan duka
yang dianggapnya
hanya persoalan getar dada
sungguh, ia tak lagi tahu
ingin apa

ia hanya tahu
bahwa di kaca gedung itu
langit mulai tua
dan sepasang burung
yang sedang terbang di sana
memperhatikan dia
berangsur-angsur gila

2005